Rabu, 21 September 2011

BAKAL SKRIKSI

PENDAHULUAN
Salah satu jenis tanah yang mendominasi lahan di Indonesia ialah tanah tua atau Ultisol, yang telah mengalami pelapukan lanjut dan tingkat kesuburan yang rendah (Pujianto, 2001). Luas Ultisol di Indonesia mencapai 48,3 juta ha atau sekitar 58% dari luas lahan kering di Indonesia (Hasanudin dan Gonggo, 2004). Khususnya di Bengkulu Ultisol ini mencapai 408.495 hektar (Gusmara, 1998). 
   Pemanfaatan lahan mineral masam, khususnya Ultisol memiliki banyak kendala karena tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan tingginya konsentrasi Al dan Fe yang bersifat racun bagi tanaman, rendahnya kandungan hara dan resistensi hara yang tinggi (Sanchez, 1992). Rendahnya kadar bahan organik yang menyebabkan sedikitnya populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah dan rendahnya aktivitas liat yang berpengaruh pada pertukaran ion dalam tanah rendah (Hardjowigeno, 1993). Sehingga tanaman yang tumbuh pada kondisi ini, tidak mampu menyerap hara karena sistem perakaran dan unsur hara rendah (Bertham et al., 2005). Ketersediaan unsur hara pada Ultisol akan menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang optimal dan berkaitan langsung dengan hasil yang akan diperoleh.
Banyak usaha yang dilakukan untuk dapat meningkatkan produktivitas Ultisol, seperti pengapuran dan pemberian pupuk buatan. Namun, usaha tersebut belum berhasil dengan baik (Hasanudin, 2003). Dalam hal ini perlu adanya pemupukan berimbang antara pupuk organik dan anorganik. Pemupukan berimbang adalah penambahan pupuk ke dalam tanah dengan jumlah dan jenis hara yang sesuai dengan tingkat kesuburan tanah dan kebutuhan hara oleh tanaman untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil komoditas pertanian. Pupuk yang direkomendasikan  dalam penelitian ini berupa pupuk organik (kompos), pupuk hayati (rhizobium dan fungi pelarut fospat) dan pupuk Kalium (K).
   Mikroba tanah yang dapat digunakan sebagai pupuk hayati, adalah Rhizobium sebagai Bakteri Penambat Nitrogen. Rhizobium sebagai penambat nitrogen memiliki manfaat bagi tanaman yang tumbuh di Ultisol. Bakteri ini memiliki pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan rhizobia lainnya (Holt et al., 1994). Bakteri rhizobium hidup secara bebas dalam tanah dan dalam daerah perakaran baik pada tanaman legum dan non legum.
   Selain rhizobium, ada juga mikroba lain seperti fungi pelarut fosfat (FPF). Fosfor merupakan unsur hara pembatas pertumbuhan yang kedua setelah N. FPF dapat membantu penyerapan P dari tanah dan keunggulannya mampu memecahkan ikatan P yang diikat oleh Al dan Fe. Selain itu, FPF dan akar tanaman berpartisipasi dalam pelarutan P-anorganik melalui produksi CO2 dan asam-asam organik. Upaya untuk meningkatkan hasil produksi tidak terlepas dari pupuk anorganik, seperti halnya pupuk kalium.
Pemupukan kalium memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan produksi kedelai di Ultisol. Hara kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah banyak setelah N dan P. Kalium merupakan agen katalis yang berperan dalam proses metabolisme tanaman, seperti: (1) meningkatkan aktifitas enzim, (2) mengurangi kehilangan air transpirasi melalui pengaturan stomata, (3) meningkatkan produksi adenosine triphosphate (ATP),  (4) membantu translokasi, dan (5) meningkatkan serapan N dan sintesis protein (Havlin et al., 1999).
 Kedelai merupakan salah tanaman kacang-kacangan yang mempunyai kegunaan dalam kehidupan manusia baik untuk sumber protein nabati, bahan pakan ternak dan bahan baku industri (Bertham, 2002). Produksi kedelai selama lima tahun terakhir mengalami penurunan tajam karena berbagai faktor : (1) mahalnya harga pupuk buatan akibat meningkatnya harga BBM, (2) rendahnya produktivitas lahan, (3) kurang tersedianya bibit unggul dan lahan yang terbatas serta kegagalan panen (Maryanto  et al., 2002). Produktivitas kedelai nasional sendiri masih terbilang rendah yaitu, 905.015 ton dari luasan lahan 672.242 hektar yang berarti produksi nasional hanya 1,34 ton ha-1 (BPS, 2010).
Tujuan penelitian untuk meningkatkan produksi kedelai melalui pemanfaatan pupuk hayati dan pemupukan berimbang.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kedelai
Kedelai tergolong kedalam Kingdom: Plantae, Subkingdom : Cornobiota, Divisi : Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Dicotiledoneae, Subkelas : Arachichlamydae, Ordo : Rosales, Subordo : Leguminosinae, Famili : Leguminosae, Subfamili : Papilioanaceae, Tribe : Phaseolae, Subtribe : Glicinae, Genus : Glycine, Subgenus : Glycine, Spesies : Glycine max (L.) Merrill (Adisarwanto, 2005). Sistem perakaran kedelai terdiri atas dua macam, yaitu akar tunggang dan akar serabut. Secara umum, akar tunggang dapat tumbuh pada kedalaman lapisan olah sekitar 30 – 50 cm dan akar serabut pada kedalaman 20 – 30 cm (Adisarwanto, 2005). Kedelai dapat membentuk bintil akar yang dapat bersimbiosis dengan bakteri. Bakteri bintil akar dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2 yang kemudian dapat digunakan oleh kedelai setelah dioksidasi menjadi nitrat (NO3) (Pujianto, 2001).
Kedelai tumbuh  optimal pada suhu 30 0C saat masa perkecambahan dan 24 – 25 0C pada masa pembentukan bunga, lama penyinaran tidak melebihi batas kritis 15 jam/ hari, pH 6,8-7,0 untuk mendukung pertumbuhan kedelai dan Rhizobium pada bintil akar (Adisarwanto, 2005). Ketinggian yang cocok untuk pertumbuhan kedelai sekitar 100-1000 m di atas permukaan laut (Suprapto, 1991).
2.2 Ultisol
Ultisol merupakan  tanah mineral yang memiliki kendala karakteristik di dalam pemanfaatannya yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi lempung pada horizon bawah permukaan yang menyebabkan kemantapan agregat lemah (Notohadiprawiro, 1986), selain itu juga kejenuhan basa < 35% dan adanya horizon argilik, tanpa ada persyaratan lainnya (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006) dengan pH masam hingga sangat masam, yaitu sekitar 5 – 3,5 ( Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Ultisol memiliki banyak kendala karena tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan tingginya konsentrasi Al dan Fe yang bersifat racun bagi tanaman, rendahnya kandungan hara dan resistensi hara yang tinggi (Sanchez, 1992). Sehingga tanaman yang tumbuh pada kondisi ini, tidak mampu menyerap hara karena sistem perakaran dan unsur hara rendah (Bertham et al., 2005). Ketersediaan unsur hara pada Ultisol akan menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang optimal dan berkaitan langsung dengan hasil yang akan diperoleh.
2.3 Rhizobia
       Rhizobium memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dari jenis rhizobia lain  (Holt et al., 1994). Di dalam pertumbuhannya, rhizobia memerlukan karbohidrat dan protein sebagai sumber C, sumber energi dan sumber N bagi pertumbuhannya yang diambil dari hasil fitosintesis tanaman inangnya (Widyawati, 2007). Karbon diperoleh mikroba dari seresah yang ada di sekitrnya (fosil). Masuknya rhizobium pada akar tanaman ketika jaringan korteks tanaman bisa ditembus oleh benang-benang dasar sehingga terjadi infeksi. Pada tempat infeksi ini akan timbul bintil akar atau nodula (Sarief, 1986). Nodul atau bintil akar tanaman kedelai pada umumnya dapat mengikat nitrogen dari udara bebas pada umur 10-12 hari setelah tanam (hst) (Adisarwanto, 2005).
       Manfaat rhizobium salah satunya, yaitu dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2 yang kemudian direduksi menjadi amonium (NH­4+). Amonium diubah menjadi senyawa nitrat (NO­3-) yang kemudian menyebar pada sel-sel tanaman sekitarnya dan diangkut ke bagian-bagian lainnya (Anas, 1989). Selain mampu bersimbiosis dengan tanaman legume (kedelai), Rhizobium juga mampu berinteraksi dengan mikroba lain seperti Fungi Pelarut Fosfat.
2.4 Fungi Pelarut Fosfat
Fungi pelarut fosfat (FPF) merupakan fungi tanah yang bersifat non patogen dan termasuk dalam katagori fungi pemacu pertumbuhan tanaman. Menurut Bertham 2006 tanaman memanfaatkan P hanya sebesar 10-30% dari pupuk P yang diberikan, berarti 70-90% pupuk P tetap berada di dalam tanah. Efisiensi penggunaan pupuk P ini dapat diatasi dengan memanfaatkan mikroba pelarut P seperti fungi pelarut fosfat sebagai pupuk hayati.
2.5 Kalium
       Kekahatan kalium merupakan kendala yang sangat penting dan sering terjadi di lahan Ultisol. Masalah tersebut erat kaitannya dengan bahan induk tanah yang miskin K, hara kalium yang mudah tercuci karena KTK tanah rendah, dan curah hujan yang tinggi di daerah tropika basah sehingga K banyak tercuci. Upanya untuk meningkatkan produksi kedelai di tanah masam dapat dilakukan melalui penggelolaan tanaman yang sesuai dan manipulasi tanah yang tepat. Pemupukan Kalium memegang peran yang sangat penting dalam meningkatkan produksi kedelai di tanah ultisol. Hara kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah banyak setelah N dan P. Bila ketersediaan kalium tanah rendah maka pertumbuhan tanaman terganggu dan tanaman akan memperlihatkan gejala kekahatan.
2.6 Interaksi FPF, Rhizobium dan Kalium terhadap pertumbuhan tanaman kedelai
       Ultisol memiliki banyak kendala karena tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan tingginya konsentrasi Al dan Fe yang bersifat racun bagi tanaman, rendahnya kandungan hara dan resistensi hara yang tinggi (Sanchez, 1992). Tingginya konsentrasi Al dan Fe pada ultisol menyebabkan tumbuh pada tanah ini tidak mampu menyerap sebagian unsur hara karena keterbatasan sistem perakaran khususnya kedelai. Tanaman legum membentuk suatu simbiosis mutalisme dalam menfiksasi N2 bebas dari atmosfir dengan rhizobium atau Fungi Pelarut Fosfat (FPF) untuk mendapatkan hara P dari dalam tanah yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya (Bertham et al., 2005).
Rhizobium dan FPF dikenal sebagai dua jenis mikroba tanah yang bersimbiosis dengan akar tanaman legum, khususnya kedelai. Simbiosis FPF dan Rhizobium pada akar kedelai pada umumnya bersinergi meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai. Rhizobium bertugas mengikat N2 dari atmosfir bebas (Bertham et al., 2005), sedangkan hifa FPF memfasilitasinya dengan peningkatan serapan ion, khususnya fosfat, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik (Arsyad, 2007).
Pupuk anorganik seperti Kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah banyak setelah N dan P. kebutuhan pupuk K untuk tanaman kedelai adalah 110 kg KCl/ha dan 10 kg KCl/ha masing-masing untuk kelas hara rendah dan tinggi (Nursyamsi dan Sutriadi, 2005).

III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni – Agustus 2011 di Desa Medan Baru, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Pengukuran di laboratorium untuk bobot kering, analisis tanah dan jaringan tanaman di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
3.2 Alat dam Bahan
Bahan yang digunakan kedelai genotipe 25EC merupakan hasil rakitan yang bersifat umum tahan P rendah dan kemasaman tinggi. Isolat Rhizobium merupakan hasil perbanyakan dari penelitian sebelumnya, yaitu TER dan KLR. Isolat fungi pelarut fosfat diisolasi dari rhizosfir tanaman kedelai dan kemudian diperbanyak menggunakan media pikovkaya. Sedangkan alat yang digunakan antara lain : cangkul, ajir, timbangan Ohaus, plastik, oven, autoclap, shaker, pH meter, gembor dan alat-alat lainnya yang menunjang analisis tanah dan jaringan tanaman.
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Persiapan lahan diawali dengan pembersihan lahan dari gulma dengan menggunakan cangkul. Tanah dibersihkan dari rerumputan untuk kemudian diolah sebagaimana biasa dilakukan untuk budidaya tanaman kedelai. Pada lahan tersebut disiapkan tiga blok yang dipisahkan dengan jarak 0,5 m dan jarak antar petak 0,3 m. Setiap satuan percobaan/ petak berukuran 2 m x 2 m, setiap petak terdiri dari 6 baris dengan 6 tanaman, tiap baris atau jarak tanam 30 cm x 30 cm sehingga setiap petak terdiri dari 36 tanaman.
Inokulan fungi pelarut fosfat dibuat dengan mencampur kultur murni fungi pelarut fosfat terpilih dan inokulan rhizobium yang didapat dari hasil penelitian sebelumnya. Benih kedelai tersebut kemudian dimasukkan ke lubang tanam serta inokulan FPF dan rhizobium di teteskan satu tetes ke setiap lubang tanam.
Pengambilan sampel tanah untuk analisis awal dilakukan secara komposit yaitu dengan mengambil sampel tanah sebanyak 1 kg yang kemudian dikering anginkan lalu digerus dan diayak pada saringan 2 mm dan 0,5 mm. Analisis awal tanah meliputi pengukuran pH H2O dan KCl (pH meter) dengan menggunakan metode elektrometrik, N-total dengan metode kjeldahl, P-tersedia dengan metode BrayI, K dengan metode fotometer nyala, Al-dd dengan metode Oksalat, KTK dengan metode distilasi, kadar bahan organik dengan metode Walkley and Black. Seminggu sebelum tanam seluruh perlakuan diberi kapur 200 kg/ha. Pada saat tanam diberi pupuk KCl dan bahan organik (kompos) sesuai dengan perlakuan.
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyulaman, penjarangan, pembersihan gulma, pemberantasan hama dan penyakit tanaman, serta pemupukan. Penyiraman akan dilakukan setiap hari untuk menjaga kelembaban tanah dan kekurangan air pada pertumbuhan tanaman. Penyulaman akan dilakukan pada tanaman yang mati setelah 1 minggu tanam (MST) dan penjarangan akan dilakukan 2 MST.
Pertumbuhan gulma diatasi secara manual dengan cara mencabut setiap gulma yang tumbuh dan kemudian dibenamkan ke dalam tanah. Penanggulangan hama dan penyakit tanaman selama penelitian ini berlangsung dengan menggunakan pestisida (Curacron) yang dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada saat umur 30, 50, 70 hari setelah tanam.
3.4  Panen dan Pengamatan
       Pemanenan dilakukan pada akhir fase vegetatif dan pada akhir fase generatif. Saat panen diambil secara acak 3 (tiga) contoh tanaman sampel setiap petak untuk dianalisis. Pemanenan akhir fase vegetatif dilaksanakan saat umur tanaman 38 HST yaitu atau saat 10% dari populasi tanaman sudah berbunga. Tanaman dikeringkan dalam oven pada suhu 70 0C selama 48 jam (2hari) dan kemudian ditimbang bobotnya.
       Langkah selanjutnya yaitu menggerus tanaman (akar, batang dan daun) yang telah dikering oven untuk menganalisis kadar hara N, P dan K. kadar hadar hara N diukur dengan metode Kjeldahl, hara P diukur dengan metode pewarna biru molibden, sedangkan hara K diukur dengan menggunakan metode fotometer nyala. Penelitian ini diakhiri pada fase generatif yaitu pada saat tanaman sudah menguning total dan dilakukan pengamatan terhadap jumlah polong, jumlah biji dan bobot kering biji perpetak.
3.5 Rancangan percobaan dan analisis data.
       Percobaan ini menggunakan rancangan split plot dengan rancangan dasar acak kelompok lengkap. Sebagai petak utama adalah dengan bahan organik (kompos) di mana O0 (tanpa kompos), O1 (0,5 ton. ha-1), O2 (1 ton. ha-1), O3 (1,5 ton. ha-1) dan anak petak dengan menggunakan pupuk Kalium terdiri dari K0 (tanpa kalium), K1 (25 kg. ha-1), K2 (50 kg. ha-1), K3 ( 75 kg. ha-1), K4 (100 kg. ha-1). Perlakuan ini ada 20 petak diulang tiga kali, sehingga didapat 60 petak percobaan.
       Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Uji Duncan serta hubungan antar peubah dianalisis menggunakan model korelasi regresi.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar