PENDAHULUAN
Salah satu jenis tanah yang
mendominasi lahan di Indonesia ialah tanah tua atau Ultisol, yang telah
mengalami pelapukan lanjut dan tingkat kesuburan yang rendah (Pujianto, 2001).
Luas Ultisol di Indonesia mencapai 48,3 juta ha atau sekitar 58% dari luas lahan
kering di Indonesia (Hasanudin dan Gonggo, 2004). Khususnya di Bengkulu Ultisol
ini mencapai 408.495 hektar (Gusmara, 1998).
Pemanfaatan lahan mineral masam, khususnya Ultisol memiliki banyak
kendala karena tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan tingginya konsentrasi
Al dan Fe yang bersifat racun bagi tanaman, rendahnya kandungan hara dan
resistensi hara yang tinggi (Sanchez, 1992). Rendahnya kadar bahan organik yang
menyebabkan sedikitnya populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah dan rendahnya
aktivitas liat yang berpengaruh pada pertukaran ion dalam tanah rendah
(Hardjowigeno, 1993). Sehingga
tanaman yang tumbuh pada kondisi ini, tidak mampu menyerap hara karena sistem
perakaran dan unsur hara rendah (Bertham et
al., 2005). Ketersediaan unsur hara pada Ultisol akan menyebabkan
pertumbuhan tanaman kurang optimal dan berkaitan langsung dengan hasil yang
akan diperoleh.
Banyak usaha yang dilakukan untuk dapat
meningkatkan produktivitas Ultisol, seperti pengapuran dan pemberian pupuk
buatan. Namun, usaha tersebut belum berhasil dengan baik (Hasanudin, 2003).
Dalam hal ini perlu adanya pemupukan berimbang antara pupuk organik dan
anorganik. Pemupukan berimbang adalah penambahan pupuk ke dalam tanah dengan
jumlah dan jenis hara yang sesuai dengan tingkat kesuburan tanah dan kebutuhan
hara oleh tanaman untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil komoditas
pertanian. Pupuk yang direkomendasikan
dalam penelitian ini berupa pupuk organik (kompos), pupuk hayati (rhizobium dan fungi pelarut fospat) dan
pupuk Kalium (K).
Mikroba
tanah yang dapat digunakan sebagai pupuk hayati, adalah Rhizobium sebagai Bakteri Penambat Nitrogen. Rhizobium sebagai penambat nitrogen memiliki manfaat bagi tanaman
yang tumbuh di Ultisol. Bakteri ini memiliki pertumbuhan yang lebih cepat jika
dibandingkan dengan rhizobia lainnya (Holt et
al., 1994). Bakteri rhizobium
hidup secara bebas dalam tanah dan dalam daerah perakaran baik pada tanaman
legum dan non legum.
Selain rhizobium, ada juga mikroba lain seperti fungi pelarut fosfat
(FPF). Fosfor merupakan unsur hara pembatas pertumbuhan yang kedua setelah N.
FPF dapat membantu penyerapan P dari tanah dan keunggulannya mampu memecahkan
ikatan P yang diikat oleh Al dan Fe. Selain itu, FPF dan akar tanaman
berpartisipasi dalam pelarutan P-anorganik melalui produksi CO2 dan
asam-asam organik. Upaya untuk meningkatkan hasil produksi tidak terlepas dari
pupuk anorganik, seperti halnya pupuk kalium.
Pemupukan kalium memegang peranan yang sangat
penting dalam meningkatkan produksi kedelai di Ultisol. Hara kalium merupakan
hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah banyak setelah N dan P.
Kalium merupakan agen katalis yang berperan dalam proses metabolisme tanaman,
seperti: (1) meningkatkan aktifitas enzim, (2) mengurangi kehilangan air
transpirasi melalui pengaturan stomata, (3) meningkatkan produksi adenosine
triphosphate (ATP), (4) membantu translokasi, dan (5) meningkatkan serapan N dan sintesis
protein (Havlin et al., 1999).
Kedelai
merupakan salah tanaman kacang-kacangan yang mempunyai kegunaan dalam kehidupan
manusia baik untuk sumber protein nabati, bahan pakan ternak dan bahan baku
industri (Bertham, 2002). Produksi
kedelai selama lima tahun terakhir mengalami penurunan tajam karena berbagai
faktor : (1) mahalnya harga pupuk buatan akibat meningkatnya harga BBM, (2)
rendahnya produktivitas lahan, (3) kurang tersedianya bibit unggul dan lahan
yang terbatas serta kegagalan panen (Maryanto et al.,
2002). Produktivitas kedelai
nasional sendiri masih terbilang rendah yaitu, 905.015 ton dari luasan lahan
672.242 hektar yang berarti produksi nasional hanya 1,34 ton ha-1
(BPS, 2010).
Tujuan penelitian untuk meningkatkan
produksi kedelai melalui pemanfaatan pupuk hayati dan pemupukan berimbang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kedelai
Kedelai tergolong kedalam Kingdom:
Plantae, Subkingdom : Cornobiota, Divisi : Spermatophyta, Subdivisi :
Angiospermae, Kelas : Dicotiledoneae, Subkelas : Arachichlamydae, Ordo :
Rosales, Subordo : Leguminosinae, Famili : Leguminosae, Subfamili : Papilioanaceae,
Tribe : Phaseolae, Subtribe : Glicinae, Genus : Glycine, Subgenus : Glycine,
Spesies : Glycine max (L.) Merrill (Adisarwanto, 2005). Sistem perakaran
kedelai terdiri atas dua macam, yaitu akar tunggang dan akar serabut. Secara
umum, akar tunggang dapat tumbuh pada kedalaman lapisan olah sekitar 30 – 50 cm
dan akar serabut pada kedalaman 20 – 30 cm (Adisarwanto, 2005). Kedelai dapat
membentuk bintil akar yang dapat bersimbiosis dengan bakteri. Bakteri bintil
akar dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2
yang kemudian dapat digunakan oleh kedelai setelah dioksidasi menjadi nitrat (NO3) (Pujianto, 2001).
Kedelai tumbuh optimal pada suhu 30 0C saat masa
perkecambahan dan 24 – 25 0C pada masa pembentukan bunga, lama
penyinaran tidak melebihi batas kritis 15 jam/ hari, pH 6,8-7,0 untuk mendukung
pertumbuhan kedelai dan Rhizobium pada bintil akar (Adisarwanto, 2005).
Ketinggian yang cocok untuk pertumbuhan kedelai sekitar 100-1000 m di atas
permukaan laut (Suprapto, 1991).
2.2 Ultisol
Ultisol merupakan tanah mineral yang memiliki kendala
karakteristik di dalam pemanfaatannya yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi
lempung pada horizon bawah permukaan yang menyebabkan kemantapan agregat lemah
(Notohadiprawiro, 1986), selain itu juga kejenuhan basa < 35% dan adanya
horizon argilik, tanpa ada persyaratan lainnya (Prasetyo dan Suriadikarta,
2006) dengan pH masam hingga sangat masam, yaitu sekitar 5 – 3,5 ( Prasetyo dan
Suriadikarta, 2006).
Ultisol memiliki banyak kendala
karena tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan tingginya konsentrasi Al dan
Fe yang bersifat racun bagi tanaman, rendahnya kandungan hara dan resistensi
hara yang tinggi (Sanchez, 1992). Sehingga tanaman yang tumbuh pada kondisi ini, tidak mampu menyerap hara
karena sistem perakaran dan unsur hara rendah (Bertham et al., 2005). Ketersediaan unsur hara pada Ultisol akan
menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang optimal dan berkaitan langsung dengan
hasil yang akan diperoleh.
2.3 Rhizobia
Rhizobium memiliki pertumbuhan yang
lebih cepat dari jenis rhizobia lain (Holt
et al., 1994). Di dalam
pertumbuhannya, rhizobia memerlukan karbohidrat dan protein sebagai sumber C,
sumber energi dan sumber N bagi pertumbuhannya yang diambil dari hasil
fitosintesis tanaman inangnya (Widyawati, 2007). Karbon diperoleh mikroba dari seresah
yang ada di sekitrnya (fosil). Masuknya rhizobium pada akar tanaman ketika
jaringan korteks tanaman bisa ditembus oleh benang-benang dasar sehingga
terjadi infeksi. Pada tempat infeksi ini akan timbul bintil akar atau nodula
(Sarief, 1986). Nodul atau bintil akar tanaman kedelai pada umumnya dapat
mengikat nitrogen dari udara bebas pada umur 10-12 hari setelah tanam (hst)
(Adisarwanto, 2005).
Manfaat rhizobium salah satunya, yaitu
dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2 yang
kemudian direduksi menjadi amonium (NH4+). Amonium diubah
menjadi senyawa nitrat (NO3-) yang kemudian menyebar
pada sel-sel tanaman sekitarnya dan diangkut ke bagian-bagian lainnya (Anas,
1989). Selain mampu bersimbiosis dengan tanaman legume (kedelai), Rhizobium juga mampu berinteraksi dengan
mikroba lain seperti Fungi Pelarut
Fosfat.
2.4 Fungi Pelarut Fosfat
Fungi pelarut fosfat (FPF) merupakan
fungi tanah yang bersifat non patogen dan termasuk dalam katagori fungi pemacu
pertumbuhan tanaman. Menurut Bertham 2006 tanaman memanfaatkan P hanya sebesar
10-30% dari pupuk P yang diberikan, berarti 70-90% pupuk P tetap berada di
dalam tanah. Efisiensi penggunaan pupuk P ini dapat diatasi dengan memanfaatkan
mikroba pelarut P seperti fungi pelarut fosfat sebagai pupuk hayati.
2.5 Kalium
Kekahatan
kalium merupakan kendala yang sangat penting dan sering terjadi di lahan
Ultisol. Masalah tersebut erat kaitannya dengan bahan induk tanah yang miskin
K, hara kalium yang mudah tercuci karena KTK tanah rendah, dan curah hujan yang
tinggi di daerah tropika basah sehingga K banyak tercuci. Upanya untuk
meningkatkan produksi kedelai di tanah masam dapat dilakukan melalui
penggelolaan tanaman yang sesuai dan manipulasi tanah yang tepat. Pemupukan
Kalium memegang peran yang sangat penting dalam meningkatkan produksi kedelai
di tanah ultisol. Hara kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan
dalam jumlah banyak setelah N dan P. Bila ketersediaan kalium tanah rendah maka
pertumbuhan tanaman terganggu dan tanaman akan memperlihatkan gejala kekahatan.
2.6 Interaksi FPF, Rhizobium dan
Kalium terhadap pertumbuhan tanaman kedelai
Ultisol memiliki banyak kendala karena tingginya kemasaman tanah yang
menyebabkan tingginya konsentrasi Al dan Fe yang bersifat racun bagi tanaman,
rendahnya kandungan hara dan resistensi hara yang tinggi (Sanchez, 1992).
Tingginya konsentrasi Al dan Fe pada ultisol menyebabkan tumbuh pada tanah ini tidak mampu
menyerap sebagian unsur hara karena keterbatasan sistem perakaran khususnya
kedelai. Tanaman legum membentuk suatu simbiosis mutalisme dalam menfiksasi N2
bebas dari atmosfir dengan rhizobium atau Fungi Pelarut Fosfat (FPF) untuk
mendapatkan hara P dari dalam tanah yang dibutuhkan tanaman untuk
pertumbuhannya (Bertham et al.,
2005).
Rhizobium dan FPF dikenal sebagai dua
jenis mikroba tanah yang bersimbiosis dengan akar tanaman legum, khususnya
kedelai. Simbiosis FPF dan Rhizobium pada akar kedelai pada umumnya bersinergi
meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai. Rhizobium bertugas mengikat N2
dari atmosfir bebas (Bertham et al.,
2005), sedangkan hifa FPF memfasilitasinya dengan peningkatan serapan ion,
khususnya fosfat, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik (Arsyad,
2007).
Pupuk
anorganik seperti Kalium merupakan hara makro bagi tanaman yang dibutuhkan
dalam jumlah banyak setelah N dan P. kebutuhan pupuk K untuk tanaman kedelai
adalah 110 kg KCl/ha dan 10 kg KCl/ha masing-masing untuk kelas hara rendah dan
tinggi (Nursyamsi dan Sutriadi, 2005).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni – Agustus 2011 di Desa Medan Baru, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Pengukuran di laboratorium
untuk bobot kering, analisis tanah
dan jaringan tanaman di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu.
3.2 Alat dam Bahan
Bahan yang digunakan kedelai genotipe 25EC merupakan hasil
rakitan yang bersifat umum tahan P rendah dan kemasaman tinggi. Isolat
Rhizobium merupakan hasil perbanyakan dari penelitian sebelumnya, yaitu TER dan
KLR. Isolat fungi pelarut fosfat diisolasi dari rhizosfir tanaman kedelai dan
kemudian diperbanyak menggunakan media pikovkaya. Sedangkan alat yang digunakan
antara lain : cangkul, ajir, timbangan Ohaus, plastik, oven, autoclap, shaker,
pH meter, gembor dan alat-alat lainnya yang menunjang analisis tanah dan
jaringan tanaman.
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Persiapan lahan diawali dengan pembersihan lahan
dari gulma dengan menggunakan cangkul. Tanah dibersihkan dari rerumputan untuk
kemudian diolah sebagaimana biasa dilakukan untuk budidaya tanaman kedelai.
Pada lahan tersebut disiapkan tiga blok yang dipisahkan dengan jarak 0,5 m dan
jarak antar petak 0,3 m. Setiap satuan percobaan/ petak berukuran 2 m x 2 m,
setiap petak terdiri dari 6 baris dengan 6 tanaman, tiap baris atau jarak tanam
30 cm x 30 cm sehingga setiap petak terdiri dari 36 tanaman.
Inokulan fungi pelarut fosfat dibuat dengan
mencampur kultur murni fungi pelarut fosfat terpilih dan inokulan rhizobium
yang didapat dari hasil penelitian sebelumnya. Benih kedelai tersebut kemudian
dimasukkan ke lubang tanam serta inokulan FPF dan rhizobium di teteskan satu tetes ke setiap lubang tanam.
Pengambilan sampel
tanah untuk analisis awal dilakukan secara komposit yaitu dengan mengambil
sampel tanah sebanyak 1 kg yang kemudian dikering anginkan lalu digerus dan
diayak pada saringan 2 mm dan 0,5 mm. Analisis awal tanah meliputi pengukuran
pH H2O dan KCl (pH meter) dengan menggunakan metode
elektrometrik, N-total dengan metode kjeldahl, P-tersedia dengan metode BrayI,
K dengan metode fotometer nyala, Al-dd dengan metode Oksalat, KTK dengan metode
distilasi, kadar bahan organik dengan metode Walkley and Black. Seminggu
sebelum tanam seluruh perlakuan diberi kapur 200 kg/ha. Pada saat tanam diberi
pupuk KCl dan bahan organik (kompos) sesuai dengan perlakuan.
Pemeliharaan
tanaman meliputi penyiraman, penyulaman, penjarangan, pembersihan gulma,
pemberantasan hama dan penyakit tanaman, serta pemupukan. Penyiraman akan
dilakukan setiap hari untuk menjaga kelembaban tanah dan kekurangan air pada
pertumbuhan tanaman. Penyulaman akan dilakukan pada tanaman yang mati setelah 1
minggu tanam (MST) dan penjarangan akan dilakukan 2 MST.
Pertumbuhan gulma
diatasi secara manual dengan cara mencabut setiap gulma yang tumbuh dan
kemudian dibenamkan ke dalam tanah. Penanggulangan hama dan penyakit tanaman
selama penelitian ini berlangsung dengan menggunakan pestisida (Curacron) yang
dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada saat umur 30, 50, 70 hari setelah tanam.
3.4
Panen dan Pengamatan
Pemanenan dilakukan pada akhir fase vegetatif dan pada
akhir fase generatif. Saat panen diambil secara acak 3 (tiga) contoh tanaman
sampel setiap petak untuk dianalisis. Pemanenan akhir fase vegetatif
dilaksanakan saat umur tanaman 38 HST yaitu atau saat 10% dari populasi tanaman
sudah berbunga. Tanaman dikeringkan dalam oven pada suhu 70 0C
selama 48 jam (2hari) dan kemudian ditimbang bobotnya.
Langkah selanjutnya yaitu menggerus
tanaman (akar, batang dan daun) yang telah dikering oven untuk menganalisis
kadar hara N, P dan K. kadar hadar hara N diukur dengan metode Kjeldahl, hara P
diukur dengan metode pewarna biru
molibden, sedangkan hara K diukur dengan menggunakan metode fotometer nyala.
Penelitian ini diakhiri pada fase generatif yaitu pada saat tanaman sudah
menguning total dan dilakukan pengamatan terhadap jumlah polong, jumlah
biji dan bobot kering biji perpetak.
3.5 Rancangan percobaan dan analisis data.
Percobaan
ini menggunakan rancangan split plot dengan rancangan dasar acak kelompok
lengkap. Sebagai petak utama adalah dengan bahan organik (kompos) di mana O0 (tanpa kompos), O1 (0,5 ton. ha-1),
O2 (1 ton. ha-1),
O3 (1,5 ton. ha-1) dan
anak petak dengan menggunakan pupuk Kalium terdiri dari K0 (tanpa
kalium), K1 (25 kg. ha-1),
K2 (50 kg. ha-1), K3 ( 75 kg. ha-1), K4
(100 kg. ha-1). Perlakuan ini ada 20 petak diulang tiga kali, sehingga
didapat 60 petak percobaan.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Uji Duncan
serta hubungan antar peubah dianalisis menggunakan model korelasi regresi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar